Sabtu, 02 November 2013

WONOCOLO OLD OIL FIELD

Sudahkah pernah mendengar ladang minyak tua di Wonocolo , Cepu? Atau tepatnya di desa Wonocolo, Kec Kedewan, kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur
Perjalanan dari Blora mengambil arah Cepu dan selanjutnya memasuki kawasan Hutan jati yang rindang dan asri hingga akhirnya tiba di lokasi.
Wonocolo adalah satu-satunya desa di Indonesia dan mungkin di dunia yang masyarakatnya melakukan eksplorasi minyak bumi secara tradisional. Pada awalnya, Ladang Minyak itu ditemukan oleh Dordsche Petroleum Maatschappij (DPM), Perusahaan Belanda pada tahun 1879.

Tambang Minyak Bumi dan Gas Alam tersebut saat ini dikelola secara tradisional dan mekanis. Penambangan tradisional dikelola oleh masyarakat dengan peralatan sederharna untuk pengambilan minyak (sumur) dengan rata-rata kedalaman 500 meter dan dengan sumur pompa tangan (penemuan baru) dengan kedalaman 28 meter, sedangkan sebagian lagi menggunakan tehnologi yang memanfaatkan mesin mobil sebagai penggerak.
Stoop Adrian, Engineer DPM yang menemukan minyak mungkin akan terkejut jika dia mengetahui bahwa minyak di area wonocolo masih dieksplorasi dengan teknologi unik yang ia lakukan pada 130 tahun lalu.



Salah satu lokasi produksi minyak secara tradisional di Wonocolo

Lapangan Minyak tua di Wonocolo ini dioperasikan oleh masyarakat sekitar yang memproduksikan sumur – sumur tua milik Pertamina dan Humpuss yang sudah tidak ekonomis lagi. Artinya sumur tersebut sudah tidak banyak mengandung HC (Hidrokarbon) dalam hal ini kandungan light oil (minyak ringan) -nya sudah tipis. Masyarakat ini tidak membor sumur baru lagi akan tetapi mereka hanya memproduksikan dan menyulingnya saja. Menara pemboran (rig) dibuat dari kayu yang menyerupai susunan api unggun besar. Tempat pengolahan minyak atau refinery – nya saja hanya menerapkan sistem subag (sawah di bali) yang dibuat bertingkat dari atas ke bawah dan minyak mengalir secara otomatis dari atas ke bawah.


Rangka truk yang digunakan untuk produksi minyak di wonocolo

Minyak yang dihasilkan oleh sumur2 tersebut didominasi oleh heavy oil (minyak berat) yang kita kenal sebagai solar. Mereka mempunyai tempat pemasaran tersendiri dengan sistem bagi hasil tradisional. Pasar merekapun berada di bis2 Ngawi dan Sragen. Di daerah lain minyak mereka tidak laku karena proses pengolahan-nya tidak baik (kualitas yang dihasilkan tidak memenuhi standar) dan akan merusak mesin jika dipakai. kebanyakan pasar mereka adalah bis2 tua dan alat2 pertanian di dua daerah tersebut.

Pihak PERTAMINA EP Cepu dalam hal ini Distrik Kawengan tidak “berdaya” menghadapi ulah dari masyarakat ini. Seharusnya seperti apa yang kita ketahui dalam UUD 45′ bahwa eksploitasi minyak dan gas bumi dan kekayaan alam di Indonesia mempunyai regulator dalam hal ini Dirjen dan pihak perusahaan yang terkait. Bagaimana dengan lapangan minyak di Wonocolo ini?

Masyarakat memproduksikan minyak dengan tenaga utama (prime mover) rangka truck hino dan motor vespa diatas……….Hal itu mereka lakukan karena mereka merasa tidak pernah menerima bagian / upah dari eksploitasi minyak di daerah Cepu pada umumnya dan lapangan minyak wonocolo pada khususnya. Hal ini menyebabkan mereka mengambil tindakan secara ilegal.

Jika dihitung dalam perhitungan ekonomi perminyakan, PERTAMINA merugi karena lapangan tersebut sebenarnya masih sangat ekonomis akan tetapi bukan di sumur2 tua tersebut.


vespa juga bisa ngebor.... LOL

Pedagang "engkrek "(pedagang minyak eceran dengan jerigen )datang ke lokasi tersebut untuk membeli minyak hasil sulingan mereka . Mereka berasal dari sejumlah desa di kecamatan Kedewan, Kalitidu dan Purwosari. Sudah beberapa tahun ini, mereka memasarkan minyak hasil sulingan yang diproses langsung di lokasi penambangan minyak tradisional di Desa Wonocolo, Hargomulyo, juga Beji di Kecamatan Kedewan.
Mereka membeli minyak sulingan dari para penyuling baik dari para penambang minyak mentah atau pemilik sumur minyak di lapangan minyak tradisional di Bojonegoro itu. Di tiga desa penghasil minyak ini sedikitnya ada 200 lokasi tempat penyulingan. 

Pemrosesan produksi minyak mentah ("crude oil") dari sumur minyak tua itu, dilakukan secara tradisional dengan cara dibakar. Sebelumnya, minyak mentah yang ditambang dari sumur minyak dimasukkan ke dalam drum yang di timbun di dalam tanah.Dengan sebuah pipa besi, hasil pembakaran minyak mentah tersebut, disalurkan kemudian ditampung menjadi minyak hasil sulingan dan dibakar sekitar tiga jam, baru kemudian minyak hasil sulingan keluar melalui pipa.Menurut seorang pengolah minyak hasil sulingan dari satu drum minyak mentah atau sekitar 200 liter minyak yang pertama keluar berwarna putih yang dianggap premium sebanyak 10 liter.Secara beruntun keluar minyak tanah dan solar, dengan komposisi separuh-paruh dan di dalam drum masih tersisa sekitar 20 liter residu. Hasil sulingan itulah yang kemudian dibeli pedagang engkrek untuk dipasarkan ke berbagai daerah di Jatim dan Jateng.

Hasil minyak sulingan berupa solar cukup laris dipasaran, sebab tidak hanya dimanfaatkan untuk bahan bakar industri dan mesin diesel pompa air, juga dimanfaatkan untuk kendaraan bermotor.

Sampai kapan aktifitas ini akan terjadi ?
Bagaimana pendapat anda tentang fenomena yang terjadi di negara kita ini?
Semoga bermanfaat………










sumber :
1. hendratahulending.wordpress.com/2009/06/21/lapangan-minyak-tua-wonocolo/
2.www.rumahcerdaskreatif.com
3.www.antarajatim.com/lihat/berita/68363/berkah-pedagang-engkrek-minyak-sulingan-mengalir



Tidak ada komentar:

Posting Komentar